sosiologi

sosiologi
tokoh

Kamis, 15 Desember 2011

MASALAH SOSIAL DAN BUDAYA



Masalah sosial menurut Kartini Kartono ialah:
  1. Semua bentuk tingkah laku yang melangar atau memperkesa adat istiadat  masyarakat (adat istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama).
  2. Situasi social yang dianggap oleh sebagian besar dari warga masyarakat sebagai penggangu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang banyak.
Formulasi alternative untuk melengkapi arti “ masalah social” ialah istilah disorganisasi social, juga sering disebut dengan disintegrasi social, yang selalu diawali dengan analisis mengenai perubahan-perubahan dan proses-proses organic.
Masalah social menyangkut nilai-nilai dan moral, masalah tersebut merupakan persoalan karena menyangkut tata kelakuan yang inmoral, yang berlawanan dengan hukun dan bersifat merusak.
Faktor-faktor  penyebab masalah social adalah:
  1. Faktor Ekonomi, masalah sosial yang disebabkan oleh faktor ekonomi adalah masalah kemiskinan, penganguran, pemogokan, penggusuran.
  2. Faktor Biologis, masalah social yang disebabkan oleh faktor biologis adalah masalah penyakit-penyakit yang ada dalam kehidupan masyarakat
  3. Faktor psikologis, masalah social yang disebabkan oleh faktor psikologisi adalah masalah penyakit syaraf  seperti bunuh diri, disorganisasi jiwa.
  4. Faktor Perceraian, masalah social yang disebabkan oleh faktor perceraian adalah kenakalan remaja, konflik rasional, dankeagamaan yang bersumber pada faktor kebudayaan.
Masalah sosial dalam kehidupan masyarakat sangan beragam seperti ada kejahatan, kenakan remaja, perceraian, kemiskinan, homoseksual, konflik antar ras, pelacuran, korupsi, dan penyalah gunaan norkotika.


 Salah satu pembahasan masalah sosial, yaitu Penyalahgunaan Narkotika

  1. Pengertian dan Jenis Narkotika
Narkotika pada dasarnya adalah zat/obat yang berasal dari tanaman/sintesis yang jika dimakan, diminum, dihisap, atau dimasukkan (disuntikkan) ke dalam tubuh manusia dapat menurunkan kesadaran dan menimbulkan ketergantungan karena mengandung bahan-bahan kimiawi yang berpengaruh dan berefek pada struktur dan organisme tubuh.
Menurut pasal 1 UU No. 9 tahun 1976, jenis-jenis zat yang termasuk narkotika adalah:
1. Bahan-bahan
  • Tanaman papaver, adalah tanaman papaver somnifferum L, termasuk biji, buah, dan jeraminya.
  • .Opium mentah, adalah getah yang membeku sendiri, diperoleh dari tanaman papaver somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekadar untuk mpembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikankadar morfnnya.
  • Opium masak adalah
a.       Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah dari suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian. Dengan atau tambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok umtuk pemadatan.
b.      Jicing, yakni sisa-sisa dari candu yang setelah dihisap tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain,
            c.    Jicingko yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
  • Opium obat adalah opium mentah yang telah mengalami pengolahan, sehingga sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk ataupun dalam bentuk lain atau dicampur dengan zat-zat netral sesuai dengan syarat farmakoope.
  • Tanaman koka adalah tanaman dari semua jenis erythroxylon dari kelargaverythroxylaceace
  • Daun koka adalah daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentk serbuk dari semua tanaman jenis erythroxylon dari keluarga erytroxylaceace, yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
  • Tanaman ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genuscanabis, termasuk biji dan buahnya.
  • Daun ganja adalah damar yang diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil pengelolahanya, yang mengunakan damar sebagai bahan dasarnya.
  • Garam-garam dan turunan-turunan dari morfin dan kokaina.
  • Campuran-campurn dan senduhan-senduhan yang mengandung bahan yang tersebut dalam 1 sampai 3 diatas ( urtan nomor tidak persis UU No.9/1976)
Jenis-jenis narkotika juga bisa digolongkan dari potensi ketergantungan yang ditimbulkan, antara lain :
  1. Narkotika Golongan I
Narkotika pada golongan I ini berpotensi sangat tinggi dapat menyebabkan ketergantungan, sehingga tidak digunakan untuk terapi kesehatan. Contohnya adalah heroin, kokain, dan ganja.
  1. Narkotika Golongan II
Narkotika golongan II merupakan jenis narkotika yang tingkat ketergantungannya tinggi. Namun, biasanya narkotika jenis ini digunakan sebagai pilihan terakhir untuk alat terapi kesehatan. Contohnya antara lain morfin, petidin, dan metadon.
  1. Narkotika Golongan III
Berbeda dengan narkotika golongan I dan II, narkotika golongan III mempunyai tingkat ketergantungan yang rendah, dan biasanya digunakan untuk terapi kesehatan. Contohnya yaitu kodein.
  1. Dampak atau efek dari penggunaan narkotika
Efek dari penggunaan narkotika antara lain mampu mengubah suasana hati penggunanya. Pada umumnya, suasana hati yang ditimbulkan adalah sebagai berikut :
  • Rasa gelisah, gugup, curiga, merasa dikejar-kejar, dan mudah tersinggung.
  • Pelupa, pikiran kabur, acuh tak acuh, dan tertekan.
  • Apatis, putus asa, pendiam, bingung, dan menyendiri.
  • Sinis, pesimis, dan muram.
Dalam proses yang lebih lanjut, penyalahgunaan penggunaan narkotika akan mengakibatkan kecanduan bagi pemakainya. Penggunaan yang berlebihan menjadi tidak berdaya secara fisik maupun mental. Secara fisik karena tidak bisa melepasakan diri dari pemakaian narkotika dan meresa tersiksa jika tidak memakai narkotika dalam jangka waktu tertentu. Secara mental karena selalu terdorong oleh hasrat dan nafsu yang besar untuk terus menggunakan narkotika disebabkan oleh karena sifat candu narkotika itu sendiri /zat adiktif.
Daya tarik narkotika terletak pada kesanggupan untuk menciptakan perasaan nyaman karena dapat menghilangkan rasa takut, ketegangan, dan kegugupan secara semu. Dalam keadaan high, ditemukan perasaan diluar kenyataan, seperti mimpi. Apabila daya kerja narkotika mulai habis, perasaan high mulai hilang, timbul bebagai macam gejala, seperti menguap-nguap, menggigil, berkeringat, hidung dan mata basah, otot dan perut sakit, mual, kemudian muncul halusinasi dan khayalan.
Ketika si pemakai sudah kecanduan, maka secara fisik maupun mental ia sangat bergantung pada pemenuhan kebutuhan akan narkotika, dan dosis yang dipakai akan terus bertambah, sehingga daya tahan tubuh akan terus berkurang. Dan puncaknya, pemakaian narkotika terlalu banyak melampaui dosis normal/terlalu tinggi yang tidak bisa diproses tubuh karena daya tahan tubuh turun secara drastis (overdosis) bisa menyebabkan kematian pada si pemakai.

  1. Narkotika Sebagai Masalah Sosial
Dalam banyak hal, penggunaan narkotika memang berkaitan dengan kultur masyarakat disamping perkembangan sosial ekonominya. Sebagai ilustrasi, rata-rata keluarga di Amerika Serikat menyimpan sekitar 30 jenis obat-obatan yang termasuk dalam jenis narkotika di dalam lemari obat dan sejumlah minuman beralkohol di lemari minuman (Eitzen, 1986: 492).
Permasalahannya kemudian dapat berakibat pada kebiasaan kecanduan jangka panjang bersifat merugikan baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Penyalahgunaan dan pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan seseorang tidak berdaya, dimana zat adiktif yang terkandung dalam narkotika tersebut akan mengendalikan orang yang bersangkutan, membuatnya berfikir dan bertindak secara tidak konsisten dengan nilai-nilai kepribadiannya dan mendorong orang tersebut menjadi semakin kompulsif dan obsesif (Schaef, 1987: 18). Dampak lainnya adalah si pecandu akan berkurang; kontaknya dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dunia sekitar. Hal ini selain karena efek dari penggunaan narkoba yang mempengaruhi suasana hati, juga proses pemakaiannya yang sudah pasti sembunyi-sembunyi dari publik atau dengan kalangan tertentu sesama pecandu saja.
Ada beberapa sebab yang melatar belakangi individu menjadi pengguna bahkan pecandu narkotika. Salah satunya adalah sosialisasi individu. Penjelasannya bisa melalui tiga pendekatan, antara lain;
  •     Pertama urbanisme, suatu penjelasan yang berangkat dari argumen karakteristik dan kehidupan kota. Asumsi dasarnya adalah kehidupan kota yang cenderung impersonal dan anonim. Berbeda dengan masyarakat kota yang hubungannya lebih bersifat tatap muka dengan kontrol sosial yang lebih ketat, masyarakat kota dianggap lebih bebas dari keduanya. Apabila karakteristik kota dan gaya hidup seperti ini terinternalisasi melalui proses sosialisasi, maka akan lebih mudah mendorong seseorang untuk melakukan penyimpangan termasuk mengkonsumsi narkotika.
  •  Kedua adalah melalui proses transmisi kultural. Dalam teorinya tentang proses asosiasi yang diferensial (differensial association), Shutherland menjelaskan kenapa seseorang menjadi jahat; sedangkan orang lain tidak, padahal berasal dari karakteristik sosial yang sama, misalnya masyarakat urban. Seseorang belajar untuk menjadi pecandu narkotika melalui proses interaksi. Apabila lingkungan asosiasi yang paling dekat bersifat devian, maka kuat kecenderungannya terjadi proses belajar tentang teknik dan nilai devian, sehingga lebih memungkinkan tejadi tindak dan perilaku konsumsi narkotika tersebut.
  •  Ketiga, melalui realita perbedaan subkultur. Dalam hal ini, penggunaan narkotika merupakan suatu kebiasaan yag terintegrasi ke dalam subkultur tertentu. Dengan demikian berarti kebiasaan tersebut akan mewarnai pengalaman, gaya hidup dan cara hidup masyarakatnya, walaupun menurut ukuran subkultur lain atau pandangan mayarakat umum dianggap sebagai penyimpangan. Oleh sebab itulah menjadi wajar apabila pola tersebut terinternalisasi oleh anggota masyarakatnya melalui proses sosialisasi.
Ketiga penjelasan diatas mengindikasikan bahwa latar belakang yang mempengaruhi seseorang mengkonsumsi narkotika adalah faktor-faktor eksternal. Dan dalam proses sosialisasi tersebut mungkin juga terdapat peranan tokoh-tokoh tertentu dalam memperkuat daya dorong faktor eksternal tadi. Contoh pada level kelompok sebagai media sosialisasi adalah teman sebaya dalam peer group. Mayoritas pengguna narkotika adalah para remaja yang memang dalam kondisi emosi labil dan belum dewasa dalam menyikapi hal-hal baru. Ketika dalam hubungan pertemanan yang intim, mereka akan mudah terpengaruh ajakan teman untuk mencoba hal-hal baru semisal narkotika tersebut. Meskipun ada semacam penolakan, tetapi akhirnya mereka yang belum matang kepribadiannya akan terkena pengaruh juga.
Sumber permasalahan narkotika juga bisa dijelaskan menggunakan perspektif labeling. Ada perbedaan interpretasi terhadap bentuk penggunaan narkotika, sehingga kemudian mengakibatkan perbedaan label yang diberikan. Perbedaan interpretasi tersebut disebabkan oleh perbedaan referensi yang digunakan, perbedaan kepentingan dan perbedaan konstelasi sosial ekonomi politik. Label “deviasi” pada narkotika biasanya diberikan atas reaksi penolakan (social reaction) pada obat tersebut. Namun bisa saja golonan masyarakat lain memberikan label yang berbeda. Semisal pada kasus mariyuana yang terjadi di Amerika Serikat, pemberian legitimasi bagi pengguna jenis obat tersebut berhubungan langsung dengan jumlah pemakai yang merupakan anak-anak lapisan menengah dan atas (Etzen, 1986: 520). Sebaliknya, pemberian label sebagi devian bagi pemakai jenis obat tertentu yang biasa dilakukan lapisan bawah yang diikuti kebijakan represif dapat menciptakan siklus counter productive bagi ilegalitas dan aktivitas kriminal. Tendensi ke arah deviasi akan lebih kuat apabila tumbuh kesan dan perasaan diperlakukan tidak adil.
Selain dengan menggunakan perspektif labeling, sumber masalah narkotika dapat dilihat dari sudut sistem yang luas. Masalah penyalahgunaan narkotika dipandang sebagai dampak dari sistem yang kurang memberi peluang, sarana, dan saluran bagi masyarakat guna memenuhi berbagai aspirasi dan kebutuhannya. Sebagaimana diketahui, masalah sosial dapat terjadi akibat tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan dan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan (Wirjosumarto, 1973: 20). Jadi jika sistem yang berlaku kurang berhasil mengalokasikan sumber-sumber yang ada, maka akan muncul masalah sosial.
Pendapat Maslow (Eitzen, 1986: 10) tentang berbagai variasi kebutuhan seperti kebutuhan fisik (penopang hidup), rasa aman, dukungan kelompok, harga diri, memperoleh penghargaan dan aktualisasi diri, serta pandangan Goulet (1973: 94) tentang tujuan pembangunan yang meliputi perbaikan hal-hal yang berkaitan dengan penopang hidup, harga diri, dan kebebasan dari penindasan, ketidakacuhan, kesengsaraan, kemelaratan, dapat memperjelas hal ini. Dengan tidak tertampungnya aspirasi dan tidak terpenuhinya kebutuhan melalui sistem yang ada, maka dapat menyebabkan kehidupan di dalam sistem terasa menyesakkan dan mendorong mereka yang tidak puas atau kecewa mencari alternatif pemenuhan lain atau sekedar pelarian dengan cara-cara diluar sistem. Dan salah satu alternatif yang sering dirasa paling manjur antara lain adalah pemakaian narkotika. Karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, efek pemakaian narkotika bisa mengubah suasanan hati menjadi pelupa. Media narkotika menjadi efektif untuk melupakan kekecewaan hidup dan untuk merasakan sensasi lain atas ketidakpuasan dari kesalahan sistem.
Kepincangan sistem juga akan berakibat pada lemahnya penanganan represif narkotika dan masalah sosial yang ditimbulkannya, sebab kepincangan sistem juga berarti tidak berfungsinya lagi norma-norma sosial yang ada secara optimal. Institusi kontrol dan pengendalian sosial hanya sekedar formalisasi, sehingga sudah tidak lagi relevan menghadapi masalah-masalah sosial yang muncul.
Para pengguna dan pecandu cenderung mengabaikan aturan-aturan yang berlaku karena kesadaran mereka menurun drastis dalam pengaruh pemakaian narkotika. Mereka bersikap apatis atas norma-norma yang ada, sehingga memunculkan banyak tindak kriminalitas seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pengrusakan, dan sebagainya yang tentu berefek buruk pada masyarakat luas. Kebutuhan akan rasa aman dan kebebasan atas penindasan semakin sulit untuk terpenuhi. Warga masyarakat resah akan eksistensi narkotika (dalam sistem yang meliputi baik pengolahan, peredaran, penyalahgunaan, dan dampak dari penyalahgunaan narkotika tersebut) karena mengancam eksistensi atas norma-norma yang berlaku dan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok mereka untuk bisa menjalani kehidupan secara normal. Hal ini juga berhubungan erat dengan kelangsungan hidup generasi mendatang yang semakin rentan terhadap jerat narkotika, sehingga pembangunan kesejahteraan masyarakat menuju negara dan bangsa yang utuh akan semakin terganggu disebabkan kualitas sumber daya manusianya yang semakin menurun.
Menelaah lebih khusus lagi masalah kecenderungan tindak kejahatan pemakai narkotika bisa dilihat dari perspektif hukum yang dikenal dengan istilah concurus realis. Concurus realis berarti melakukan lebih dari satu tindak pidana. Istilah tersebut tepat untuk menggolongkan suatu gejala patologi sosial yang menggejala pada masyarakat yang semakin terbawa arus globalisasi dan modernisasi belakangan ini.
Gejala concurus realis tersebut jelas menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika dan pemakainya bukan masalah atau bahaya yang berdiri sendiri, tetapi secara tidak langsung ia merupakan masalah yang sangat potensial bagi munculnya masalah lain yaitu perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh para pemakai narkotika tersebut.
Dengan melihat berbagai latar belakang yang sudah disebutkan sebelumnya, individu mulai terlibat dalam pengkonsumsian narkotika. Pada mula-mulanya individu tersebut hanya mencoba-coba atau iseng karena mungkin tekanan dari luar ataupun dorongan pribadi atas segala masalah hidupnya di dalam masyarakat modern yang makin lama berkembang semakin kompleks. Perasaan khusus yang ia rasakan setelah mengkonsumsi narkotika tersebut memberinya efek menyenangkan. Dari sinilah muncul proses belajar yang mengikuti prinsip the law of effect; artinya sesuatu yang memberi akibat menyenangkan cenderung dilakukan berulang-ulang. Kecanduan adalah istilah dalam narkotika untuk menggambarkan prinsip tersebut. Individu akan sulit melepaskan diri dari narkotika jika sudah pada taraf kecanduan, karena jika tuntutan pemakaian narkotika tidak dipenuhi maka individu tersebut akan mengalami penderitaan fisik semisal berkeringat dingin, menggigil, jantung berdebar-debar, bahkan sakaw. Kebutuhan akan narkotika dalam situasi demikian akan membuat individu tersebut menggunakan segala jenis cara untuk mendapatkan narkotika walaupun harus melanggar norma-norma yang berlaku, asalkan bisa memperoleh uang untuk membeli barang haram tersebut. Maka maraklah pencurian, penipuan, perampokan, dan berbagai tindak kejahatan lainnya. Perilaku tersebut biasanya bukan hanya karena pengaruh internal individu saja, tapi juga doktrinasi norma-norma menyimpang yang berkembang dan ditularkan oleh individu-individu lain yang dekat dengan si pemakai tersebut (peer group, teman sebaya, dan sebagainya).
Beberapa penjelasan tentang dampak serta efek negatif penyalahgunaan narkotika pada kehidupan sosial masyarakat secara umum diatas  menjadi benang merah hubungan narkotika dan masalah sosial. Ketika narkotika dikonsumsi oleh individu atau sekelompok golongan tertentu yang tidak berdampak meluas kepada masyarakat atau digunakan untuk kepentingan legal semisal untuk kesehatan ataupun ilmu pengetahuan, maka masalah narkotika tersebut belum menjadi sebuah masalah sosial. Tetapi realita yang terjadi adalah dampak penggunaan narkotika secara luar biasa meluas ke berbagai lapisan masyarakat dari yang terendah sampai yang tertinggi. Maka dari itu, narkotika digolongkan sebagai suatu masalah sosial.


  1. Faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika
Banyak faktor penyebab yang membuat seseorang untuk terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika, bisa faktor lingkungan social, kepribadian dan juga bisa  dengan faktor dalam keluarga, terkadang banyak dari individu yang tidak bisa mengatasi masalahnya sehingnga individu tersebut malah menggunakan narkotika sebagai cara untuk bisa mengatasi semua yang sedang di hadapi.penyalahgunaan narkotika dan obat-obat perangsang yang sejenis erat kaitanya dengan beberapa hal yang menyangkut sebab, motivasi dan akibat yang ingin di capai. Secara sosiologis, penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat merupakan perbuatan yang disadari berdasarkan pengetahuan/ pengalaman sebagai pengaruh langsung maupun tidak langsung dari proses interaksi social. Secara subjektif individu, penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja sebagai salah satu akselerasi upaya individu/ subyek agar dapat mengungkap dan menangkap kepuasan yang belum pernah dirasakan dalam kehidupan keluarga yang hakikatnya menjadi kebutuhab primer dan fundamental bagi setiap individu,  terutama bagi anak remaja yang sedang tumbuh dan berkembang dalam segala asfek kehidupannya. Secara obyektif penyalahgunaan narkotika merupakan visualisasi dari proses isolasi yang pasti membebani fisik dan mental sehinnga dapat menghambat pertumbuhan yang sehat.
Secara universal penyalahgunaan narkotika dan zat-zat lain yang sejenisnya merupakan perbuatan distruktif dengan efek-efek negatifnya. Menurut Sudarsono, seorang yang menderita ketagihan atau ketergantungan pada narkotika akan merugikan dirinya sendiri,  juga merusak kehidupan masyarakat. Sebab secara sosiologis, mereka menggangu masyarakat dengan perbuatan-perbuatan kekerasan, acuh tak acuh, gangguan lalu lintas, dan kriminalitas lainnya. Bahaya penyalahgunaan narkotika benar-benar sangat merugikan masyarakat terutama bagi pemakainya sendir, sedangkan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, penyalahgunaan narkotika tidak hanya di kalangan tua, dewasa saja. Dalam kenyataan kaum remaja juga sudah banyak terseret dalam dunia distruktif yakni penyalahgunaan narkotika.
Faktor-faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika antara lain:
  • Lingkungan sosial
                 1. karena ingin tahu
                 2. adanya kesempatan
                 3. sarana dan prasarana
  • Kepribadian
                 1. emosional dan mental
                 2. rendah diri
  • keluarga
  1. Penanganan dan penanggulangan Masalah Narkotika
Penanggulangan penyalahgunaan narkotika dikalangan masyarakat dilakukan sedini mungkin melalui tindakan yang bijaksana setelah mengetahui sebab-sebab penyalahgunaan narkotika yang sebagian besar adalah kaum remaja. Di samping itu perlu diungkapkan sebab-sebab  munculnya para pengedarserta beberapa sebab yang erat kaitanya dengan bidang social, ekonomi, kultural dan mental. Secara global upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dalam kalangan masyarakat dapat dilakukan  secara moralistic dan abolisionistik yaitu:
Cara moralistic dalam usaha menanggulangi penyalahgunaan narkotik adalah menitikberatkan pada pembinaan moral dan membina kekukuhan mental masyarakat, juga membina mental dan moral seorang anak remaja. Dengan pembinaan moral baik masyarakat lebih-lebih anak remaja tidak mudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika. Nilai-nilai moral akan mampu menggagalkan,  setiap orang bermoral dengan sendirinya akan menjauhjan dirinya dari bahayanya narkotika. Dengan pembinaan agama yang sebaik-baiknya berarti masyarakat dan anak remaja akan memiliki kekuatan mental yang kokoh sehingga tidak mudah melanggar hokum baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berarti pula tidak akan menggunakan narkotika dan obat-obatan yang sejenis swcara illegal.
Cara abolisionistik dalam usaha menanggulangi penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat dan kaum remaja adalah  dengan berusaha memberantas, menanggulangi kejahatan dengan memberantas sebab musababnya upamanya kita ketahui bahwa faktor faktor tekanan ekonomi( kemelaratan) merupakan salah satu faktor pnyebab kejahatan maka usaha untuk mencapai kesejahteraan untuk mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan cara abolisionistik.
Menanggulangi penyalahgunaan narkotika tidak jauh berbeda dengan upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya. Cara moralistic dan abolisionistik dapat dilaksanakan scara bersama-sama akan tetapi dapat pula digunakan salah satu dari keduanya. Penggunaan dengan cara-cara yang ada hendaknya memperhatikan kondisi kondisi yang paling memadai untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Masalah narkotika berada dalam ruang lingkup yang cukup luas di masyarakat karena pengaruhnya sampai ke berbagai lapisan masyarakat. Ruang lingkup pengaruh yang luas dan serba rumit (multi-kompleks) ini tidak bisa ditanggulangi hanya dari satu pihak saja melainkan oleh semua pihak yang berkepentingan secara bersama-sama dan serius. Kesadaran tentang adanya kesatuan kepentingan, kesatuan pandangan, dan kesatuan tujuan inilah yang perlu diwujudkan dan dijadikan landasan utama serta pendorong yang ampuh dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika. Dan mengingat kompleksnya masalah ini, maka pola penanganannya harus lebih ditekankan pada tindakan pencegahan (preventif) disamping juga pada tindakan pengobatan dan rehabilitasi (represif).
Untuk penjelasannya, penanganan masalah narkotika bisa melalui beberapa pranata sosial yang ada dalam masyarakat dibawah ini, dengan mengacu pada tindakan-tindakan riil yang bisa dilakukan. Antara lain;
  1. Keluarga
Keluarga sebagai satuan sistem terkecil dalam masyrakat harus menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, terutama berkenaan dengan pendidikan anak. Pendidikan disini adalah pendidikan karakter serta kepribadian si anak. Anak harus dididik agar terbentuk karakter dan kepribadian yang baik serta kuat untuk menjadi modal perkembangan si anak selanjutnya menuju masa remaja dan dewasa, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hal negatif yang membahayakan si anak sendiri, antara lain pengaruh penyalahgunaan narkotika.
Banyak juga kesaksian para pengguna dan pecandu narkoba yang menuturkan bahwa salah satu motivasi terbesar mereka dalam pengkonsumsian narkotika adalah karena keadaan keluarga yang kurang harmonis. Oleh karena itu, pengobatan dan rehabilitasi para korban narkotika harus ditekankan pada pembinaan keluarganya. Hubungan yang baik antara orang tua dan anak tentu akan mempercepat proses penyembuhan. Namun sebelum hal tersebut terjadi, yang paling penting tentu agar setiap keluarga menjaga keharmonisan hubungan antara anggota keluarga serta pengawasan dan pemberian kasih sayang yang memadai agar si anak tidak meluapkan ketidaknyamanan di lingkungan internal keluarga untuk hal negatif semisal narkotika tersebut di luar lingkungan keluarga.
Poin penting lainnya adalah berhubungan dengan pola asuh anak yang jika terlalu dimanja maka akan mudah terseret pada narkotika. Hal ini disebabkan karena jika segala permintaan si anak dipenuhi terutama uang, orang tua tidak selalu tahu pasti untuk apa uang tersebut digunakan. Juga pemenuhan fasilitas lain yang mendekatkan si anak pada lingkungan para pengguna narkotika. Oleh karena itu, perlu pola pengasuhan anak yang tepat untuk tidak terlalu keras, tidak bersikap masa bodoh, namun juga tidak terlalu dimanjakan. Orang tua harus menanamkan disiplin yang wajar, juga memberi contoh hidup yang baik agar dikenal dan diteladani. Selain itu juga perlu kontrol yang rutin atas pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin bisa merasuki pemikiran dan pola perilaku anak yang berasal dari luar, semisal teman sebaya, televisi, internet, serta terhadap penggunaan waktu luang anak agar dapat diisi dengan kegiatan yang bermanfaat.

  1. Pendidikan
  1. Pendidikan Formal
Bila sekolah mampu mengoptimalkan fungsinya yaitu mengembangkan serta memajukan kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan si peserta didik, maka akan mampu menghasilkan generasi muda yang baik, yang dapat berfungsi pula sebagai sarana pencegahan generasi muda dari penyalahgunaan narkotika.
Disini juga ditekankan peran pendidik dalam melakukan penanganan yang tepat dalam menghadapi peserta didik yang ketahuan menggunakan narkotika. Tindakan kekerasan tidaklah akan efektif. Jalan terbaik adalah meneliti dengan  seksama apa yang menjadi penyebab si anak melakukan hal tersebut. Karena dengan diagnosis masalah yang tepat, maka pendidik akan secara tepat pula untuk penanganan masalahnya. Tindakan yang bijaksana adalah membujuk dan menasehati anak itu, dan memberikan pengertian yang logis dengan penuh kasih sayang. Para pendidik hendaknya menganggap para korban sebagai orang yang sakit, orang yang harus mendapat pertolongan, dan bukan sebagai penjahat yang harus mendapat hukuman yang berat.
Yang tak kalah penting adalah pendidikan agama. Bahwa dengan meningkatkan iman dan takwa si peserta didik melalui proses pendidikan, maka dengan  sendirinya si peserta didik tidak akan berani mencoba-coba narkotika karena selain merugikan diri sendiri dan orang lain, narkotika juga termasuk barang yang diharamkan jika disalahgunakan manfaatnya, dan akan berdosa jika tetap mengkonsumsinya.
  1. Pendidikan non formal/luar sekolah
Disini pendidikan luar sekolah berarti pengembangan bakat, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai dalam proses sosialisasi di masyarakat luas. Semisal dalam perkumpulan olahraga, disini individu bisa lebih intens dalam kegiatan pengembangan kesehatan jasmani maupun mental, mengenai kemasyarakatan, maupun organisasi. Atau di dalam perkumpulan kesenian, disini tiap individu bisa dengan leluasa mengembangkan apresiasi seninya, estetika, bobot, dan hobi, serta mempelajari kebudayaan nasional agar terbentuk tameng bagi serbuan kebudayaan asing yang beberapa unsurnya bisa berefek negatif bagi individu tersebut, antara lain pengaruh narkotika yang diserap dari kebudayaan para remaja di negara-negara barat.
Inti dari kegiatan pendidikan di luar sekolah adalah bagaimana membuat individu-individu terutama para remaja untuk seaktif mungkin mengembangkan bakat, keterampilan, hobi, sikap, dan nilai-nilai di dalam kegiatan perkumpulan yang ada agar individu-individu tadi diharapkan bisa seminimal mungkin terhindar dari pengaruh narkotika. Dengan berkecimpung dalam perkumpulan yang beranggotakan non-pengguna narkotika, maka sudah ada modal yang baik bagi masa depan si individu untuk tidak mendapat pengaruh akan narkotika. Kegiatan yang intens juga akan menguras tenaga maupun pikiran individu tersebut untuk hal-hal yang positif. Bila proses pendidikan berhasil menumbuhkan kepribadian yang baik, maka individu tersebut akan tahu bahwa penyalahgunaan narkotika itu berbahaya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat luas, sehingga dengan sendirinya ia tidak akan mengkonsumsi barang haram tersebut.
  1. Polri
Polri diharapkan bisa optimal dalam menyelidiki setiap kasus narkotika agar bisa diberantas sampai ke akar-akarnya. Diharapkan pelaku juga bisa ditindak dengan lebih tegas agar bisa menjadi semacam bagi pelaku lain di luar sana yang belum tertangkap. Hukuman yang tegas ini sekaligus juga bisa menunjukkan keseriusan Polri dalam menangani kasus-kasus narkotika, sehingga mata rantai peredaran narkotika bisa terputus.
Dalam pembinaan, Polri bisa menangani para penyalahguna baik dengan cara isolasi bagi korban ringan, maupun pengiriman langsung ke rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, atau pusat rehabilitasi penderita narkotika bagi korban yang sudah kronis.

  1. Departemen Kesehatan
Peran departemen kesehatan dalam penanganan narkotika ialah dalam penanggulangan secara preventif maupun represif. Preventif antara lain melalui penerangan dan penyuluhan seluas-luasnya kepada masyarakat, baik generasi muda maupun tua, juga instansi-instansi pemerintah dan swasta tentang ancaman narkotika baik pada diri pribadi maupun bagi masyarakat luas. Sedangkan dalam usaha represif yaitu pengobatan dan rehabilitasi, Departemen Kesehatan telah menyediakan fasilitas perawatan, baik dalam rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, rumah sakit swasta, maupun pusat rehabilitasi, lengkap dengan para ahlinya.
  1. Departemen Sosial
Tindakan preventif Departemen Sosial antara lain melalui wadah Karang Taruna sebagai program pengisian waktu luang bagi anak-anak dan remaja. Disini para remaja diarahkan agar membentuk dan mengembangkan kepribadian sehingga menjadi manusia dewasa yang mempunyai rasa tanggung jawab masyarakat dan sosial yang tinggi. Jika sudah demikian maka diharapkan para remaja tidak terjebak pada pengaruh narkotika karena dapat menjadi sumber masalah di masyarakat luas.
Untuk memantapkan program Karang Taruna, Departemen Sosial juga menyelenggarakan penataran-penataran bagi pengurus Karang Taruna di seluruh Indonesia. Lalu Departemen Sosial juga melaksanakan program rehabilitasi/resosialisasi untuk mengembalikan para korban pengaruh narkotika yang telah mendapat rehabilitasi medis dan psikiatris kembali ke dalam masyarakat dan mengoptimalkan sumber dayanya untuk kemajuan pembangunan dan kesejahteraan.

Dan yang paling penting dari usaha-usaha penanganan masalah sosial narkotika tentu saja dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, karena seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, para penyalahguna, pengedar, maupun pecandu pada dasarnya dekat di sekitar kita. Namun kadang kita kurang peka terhadap gejala-gejala yang terlihat, bahkan acuh tidak acuh melihat kenyataan keberadaan para pengedar, penyalahguna, ataupun pecandu karena merasa bukan urusan kita. Kita kurang menyadari bahwa selain dampak personal, narkotika juga dapat menjadi masalah sosial yang nantinya juga kembali berpengaruh negatif pada kita dan orang-orang yang kita sayangi.
Sudah saatnya kita tidak hanya diam atau menutup mata atas realita dunia narkotika dan ikut berperan serta untuk menghancurkan sistem di dalamnya serta memutus mata rantai setan narkotika yang mengancam kelangsungan generasi muda sebagai tulang punggung masa depan negara dan bangsa. Bahwa dalam perspektif pembangunan masyarakat, faktor manusia tidak semata-mata berfungsi sebagai potensi yang dapat digerakkan, akan tetapi lebih bersifat sebagai aktor atau pelaku dalam proses pembangunan itu sendiri. Bagaimana bisa proses pembangunan bisa berjalan dengan baik jika para aktornya sendiri terjebak dalam dunia hitam? Sebagai seorang manusia yang telah diamanahkan sebagai khalifah di muka bumi ini, kita terlalu berharga untuk hanya sekedar pelan-pelan hancur karena narkotika.

 Sumber Bacaan:
  1.  Hermawan S, Rachman. 1985. Pnyalahgunaan Narkotika Para Remaja Suatu Pengantar Msalah dan Uaha-usaha Pnanggulanganya. Bandung: Alumni.
  2. Irwanto dan Denny. Yatim986. Kribadian, Kluarga, dan Nrkotika: Tnjauan sosial-psikologi. Jakarta: Arcan.
  3. Sudarsono. 1991. Knakalan Rmaja: Rmaja dan Nrkotika. Jakarta: PT Rneka Cpta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar